Aku
melihat begitu banyak persamaan antara
Margaret Thatcher dan wanita yang sangat aku kagumi ini. Keduanya sama-sama mempunyai kemauan yang
keras. Keduanya unik, karena menjadi pemimpin
wanita yang hebat dan berwibawa. Kalau
Margaret Thatcher dijuluki Wanita Besi oleh jurnalis Soviet karena
menentang komunis, maka wanita yang
sangat aku kagumi ini tak mempunyai julukan apa-apa, kecuali pahlawan nasional
Indonesia. Tapi bagiku, ialah wanita besi versi Indonesia yang semangat dan
perjuangannya luar biasa.
Aku
melihat bukti nyata pada sikapnya. Bahwa wanita itu bukanlah mahluk yang lemah.
Yang hanya bisa diam dan tidak mengerti apa-apa. Ketika keadaan genting, tanggung
jawab beratpun diembannya. Ia memimpin sendiri perang gerilya. Ia mampu bergeliat mempertaruhkan
nyawa menunjukkan nyalinya. Padahal
sejatinya, ia adalah seorang bangsawan.
Tapi
dirinya tidak pernah enggan keluar masuk hutan. Walaupun matanya nyaris
buta dan sakitnya terus mendera. Tidak, perjuangan tidak mengenal kata berhenti
baginya. Termasuk nasehat dari orang-orang terdekat agar ia beristirahat. Tentu saja, hal itu menimbulkan rasa trenyuh yang amat dalam. Bukankah begitu banyak penderitaan yang telah dialaminya? Tetapi nyatanya ia terus berusaha agar tetap kuat.
“Perang
khape, bek jigidong tanoh Aceh!” Semangatnya terus membara untuk melawan
penjajah yang telah menghinakan tanah airnya.
Aku
sendiri tidak tahu bagaimana akhirnya, kalau saja sahabat seperjuangannya tidak
melaporkan tempat persembunyiannya pada patroli Belanda. Rasa kasihan, tak tega dan juga rasa sayang
mengakibatkan Pang Lot berbuat demikian. Tapi mungkin itu yang terbaik yang
digariskan Tuhan padanya. Ia kemudian ditangkap dan dibuang ke suatu daerah
yang sangat jauh dari tempatnya.
Meunasah, tempat berinteraksi dengan Sang Pencipta,manusia dan lingkungan. |
Tetapi di pengasingan, pada rumahnya yang sederhana,
hatinya tak pernah mati. Diam bukanlah karakternya. Ia pun kemudian mengajarkan agama Islam bagi masyarakat sekitarnya. Pun, dalam
keterbatasan fisiknya ia tetap melakukan aktivitas hidupnya sendiri,
walaupun mempunyai seorang
pembantu.
Masyarakat Sumedang begitu menghormatinya. Padahal mereka tidak tahu asal-usulnya. Begitupun para pemimpin
Sumedang waktu itu. Mereka salut karena pengetahuan wanita ini tentang sejarah Sumedang sangat luas.
Memang, tidak susah melihat orang seperti apa dia. Pada wajahnya menyiratkan keteguhan hati yang
luar biasa. Orang "besar" seperti itu akan selalu mempunyai tempat dimanapun mereka berada.
Termasuk bagi masyarakat Sumedang. Mereka pun memangilnya Eyang Prabu Aceh. Sebuah panggilan kehormatan tanpa tahu kalau ia adalah seorang pejuang yang hebat.
Makam Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh Sumedang. |
Tiga
tahun setelah itu, Srikandi Aceh yang bernama Cut Nyak Dien itupun berpulang. Jasadnya tidak terlihat di bumi lagi. Namun perjuangan, tekad
kerasnya, kepemimpinannya, ketegarannya sanggup menginspirasi kami.
Terima kasih
Eyang Prabu Aceh, sudah berjuang keras membela ibu pertiwi tempat kumenghabiskan
hidup saat ini. Semoga semua jasa baikmu diterima Allah SWT. Amin.
Dan
kita wanita Indonesia, mari berjuang dengan kemampuan kita sendiri untuk
membantu membangun Indonesia ke arah yang jauh lebih baik lagi.
***
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh :
4 komentar:
sebenarnya ada lagi seorang wanita tangguh dari aceh yg ikut serta melawan penjajah. bahkan dirinya adalah seorang laksamana. saya lupa namanya, yg jelas tidak banyak yg tahu maupun mengekspos sepak terjangnya, meskipun (menurut saya) kontribusinya lebih besar daripada kartini.
Misterious J > Menarik sekali, tolong kalau nanti ingat bisa kabari saya ya namanya. Saya berminat sekali menulis profil tentangnya.
Namanya Laksamana Keumalahayati, coba cek di google.
Ok, trims ya.
Posting Komentar