Kadang aku merasa geli, manakala tahu kawan-kawanku banyak yang takut dan jijik dengan binatang-binatang
kecil. Ada yang menangis jika
didekati
kecoa. Ada yang
spontan naik bangku ketika ada anak kucing mendekat. Ada juga yang berlari
ketakutan ketika melihat cacing. Lucunya, ada yang
menjerit-jerit saat melihat cecak jatuh. Jika semua binatang itu datang, hanya aku yang tetap tenang. Hal itu membuat teman-temanku heran. Mereka bertanya sebenarnya binatang
apa sih yang
paling aku takuti.
Jawabannya
adalah aku sangat benci ular. Sejak
lama aku menghindari melihat, mendengar baik secara
langsung ataupun tidak langsung binatang satu itu. Itu karena aku merasa terlalu sering bertemu
ular. Bagi
aku ular adalah pengganggu utama terhadap kesenanganku bermain di kebun.
Pertemuan pertamaku dengan ular
secara langsung adalah ketika aku merapikan tanaman
kriminil. Tiba-tiba
seekor anak ular muncul persis dekat tanganku. Aku sangat kaget dibuatnya. Walau hanya ular kecil tetapi bisa membuat aku deg-degan setengah mati. Setelah itu banyak lagi
aku bertemu ular. Terutama di kebun belakang.
Kebun belakang itu adalah tempat
favoritku untuk bermain. Di sana ada
sebuah ayunan dari tali yang sengaja dibelikan ayahku untuk bersantai. Aku bisa
berbaring sambil membaca buku atau melihat pemandangan sekitar. Di sampingnya
ada kolam yang penuh berisi ikan. Di sampingnya berdiri pohon mangga yang
membuat suasana menjadi teduh. Tiupan angin sepoi-sepoi sungguh membawa
kesegaran tersendiri bagiku. Di sekitarnya juga tumbuh dengan subur aneka
tanaman mulai dari jambu air, jambu batu, sawo, kedondong, melinjo, nangka dan lainnya.
Pohon jambu
batu yang rindang adalah tempat yang paling sering
kusinggahi. Sehabis pulang sekolah, pasti aku menaikinya.
Di sana aku aku bernyanyi-nyanyi kadang juga membaca buku. Bagi aku itulah tempat ternyaman untuk bersantai.
Namun sayang, aku terpaksa berhenti memanjat pohon itu.
Itu karena aku melihat empat ular hitam sedang bergantung
ke bawah. Ular
yang besar-besar itu entah mau membuat atraksi apa. Bagiku, tidak lazim bagi ular berperilaku demikian. Tetapi ketika aku berlari
memanggil ayahku, ular itu semua hilang. Intinya, tak ada seorang pun yang percaya padaku bahwa banyak ular di kebun belakang. Mereka
pikir aku berhalusinasi saja. Tapi benar ataupun tidak, aku tak berani memanjat
pohon itu lagi.
Tempat bersantaiku pindah ke bagian
lain yang lebih lenggang. Aku sering mengecek sawo-sawo yang berbuah banyak.
Jika ada yang agak lunak, aku petik dan aku makan. Tetapi suatu hari aku
penasaran sekali ingin melihat pohon salak. Tempatnya paling sudut dan agak
gelap. Tiba-tiba seekor ular besar keluar dan mendekat ke arahku. Dengan napas
ngos-ngosan aku berlari kencang. Kemana lagi kalau bukan lapor pada ayahku.
Segera ayahku mencarinya. Lagi-lagi ular itu tak dapat ditemukan. Tetapi aku
bersumpah meyakinkan ayahku bahwa aku tidak sedang berhalusinasi.
Akhirnya ayahku memanggil tukang kebun sebelah. Setelah dicari, ular itu pun
ditemukan. Namun aku dongkol setengah mati,
ular itu tidak dibunuh, hanya diusir jauh dari tempatnya semula.
Aku jadi tak berani ke kebun lagi.
Hanya melihat dari jauh dan berjalan-jalan hanya dekat pintu belakang. Tetapi
saat melihat sumur serapan, dua ekor ular air nampak di sana. Seperti biasa aku
lapor ayahku. Tetapi beliau mengatakan kalau itu hanya ular air dan tidak
berbahaya. Sekarang aku hanya berani
duduk dekat pintu, memandang kebun dari kejauhan saja. Kadang ada ular air
melintas di kolam. Tapi ia akan buru-buru pergi, sepertinya takut dengan orang.
Suatu malam aku mengalami puncak
ketakutan. Ketika aku sedang duduk-duduk di pinggir kolam, entah darimana
seekor ular belang besar tiba-tiba sudah ada dekat kakiku. Aku sempat berteriak
untuk kemudian jatuh pingsan. Ular itupun dibunuh dan dibuang ke sungai besar.
Sejak itu aku tak pernah ke kebun belakang lagi.
Kini kebun itu
sudah jadi
rumahku. Tapi
sebagian lahan masih tersisa. Halaman depannya kini kutanami bunga-bunga. Kesannya lebih lapang dan terbuka.
Nampaknya aku memang trauma
dengan ular. Aku tak berani melihat walau hanya tayangannya di televisi. Begitu pun jika melihat gambarnya di buku, aku
merasa jijik dan benci. Ditambah lagi kemarin di dinding rumah, ada ular hitam sebesar ibu jari
tapi ekornya panjang sekali. Ia memandangku
lewat jendela kaca. Timbul takut dan benciku seketika. Aku kerahkan semua tetangga.
Ramai-ramai mereka memburunya. Ia melarikan
diri ke atap rumah. Tak lama mendongakkkan kepalanya ke atas. Lalu seorang bapak menusuknya
dengan tongkat bambu. Hilang lagi.
Sekitar dua jam aku menunggu. Ia lalu nampak
berjalan di atas asbes rumahku. Sayang, para tetangga sudah bubar semua.Tiba-tiba aku
dibuat kaget oleh ulahnya. Ia menjatuhkan dirinya ke
bawah. Suara jatuhnya terdengar
keras juga. Padahal ada pipa di sana yang harusnya ia melewatinya.
“Ular gila,” makiku dalam hati. Lalu aku minta tolong tetangga. Tak lama ia datang
dengan seorang pawang ular. Tetapi ularnya tidakditemukan.
Kemarin ketika aku sedang bermain gitar, di atas dus sepatu kepala
ular seperti meliuk-liuk. Aku berlari keluar jendela. Lagi-lagi ular itu tak ditemukan. Aku takdapat tidur tenang. Tetapi akhirnya aku percaya ular itu sudah pergi dari rumahku. Kuhilangkan semua
prasangkaku tentang keberadaan ular itu.
Tetapi, sudah
beberapa
hari, tiap pagi
sekali ketika aku menimba air, seekor ular air nampak sedang bermain di sumur. Melihatku menjatuhkan ember, ia segera
berlalu masuk lubangnya. Besoknya ia seperti
menari-nari lagi.
Lalu pergi masuk
sarang lagi ketika aku datang. Bentuknya yang imut dan nampak takut, membuat naluriku merasa sayang dengan itu
binatang. Sengaja
tak kuceritakan
keberadaannya kepada siapapun. Aku merasa senang melihat ia berenang. Ia seperti anak kecil yang sedang bermain dan kemudian merasa ketakutan
dan berlari.
Kulitnya yang kusangka
hitam, ternyata agak kekuningan dengan sedikit belang. Ya, itulah ular air. Konon ia tidak berbahaya dan juga tidak berbisa. Jadi, kubiarkan saja ia di
sana.
Tetapi suatu
siang anakku menemukannya.
“Stt, jangan bilang siapa-siapa nanti dia dibunuh,” pesanku.
Aku jadi
merasa geli sendiri, takut ular, tapi kok senang pada ular air ya. Entahlah. Pokoknya salam
damai deh buat ular air. Jangan
khawatir,
kamu aman kok
di sumurku. Bermainlah
sesukamu ya. Hihihi....
Oh ya, kebetulan
tahun sekarang juga tahun ular air. Kebetulan yang manis ya. Semoga itu sebagai lambang bersinerginya hidupku dan kebahagianku. Amin.
***
3 komentar:
Hmm benar nih mbak, sekeliling rumah anda banyak ular? jadi ngeri nih.
kalau saya sebenarnya gak takut, cuma geli aja sama ular
salam kenal
saya nggak takut ama ular mbak, cuman takut ama ulat. Soalnya efeknya bisa bikin gatel-gatel dan bengkak hehehhehehe
kalau mbak nggak suka ular, saya nggak suka kucing. ih, nggak banget..!!!
susah ya ngilanginnya rasa nggak suka kita. :)))
Posting Komentar