Selasa, 08 Januari 2013

Salam Damai Untukmu



Kadang  aku merasa geli, manakala tahu kawan-kawanku banyak yang  takut dan jijik dengan binatang-binatang kecil. Ada yang menangis jika didekati kecoa. Ada yang  spontan naik bangku ketika ada anak kucing mendekat. Ada juga yang berlari ketakutan ketika melihat cacing.  Lucunya, ada yang menjerit-jerit saat melihat cecak jatuh. Jika semua binatang  itu datang, hanya  aku yang tetap tenang. Hal itu membuat teman-temanku heran. Mereka bertanya sebenarnya binatang apa sih yang paling aku takuti.


Jawabannya adalah aku sangat benci ular. Sejak lama aku menghindari melihat, mendengar baik secara langsung ataupun tidak langsung binatang satu itu. Itu karena aku merasa terlalu sering bertemu ular. Bagi aku ular adalah pengganggu utama terhadap kesenanganku bermain di kebun.
Pertemuan pertamaku dengan ular secara langsung adalah ketika aku merapikan tanaman kriminil. Tiba-tiba seekor anak ular muncul persis dekat tanganku. Aku sangat kaget dibuatnya. Walau hanya ular kecil tetapi bisa membuat aku deg-degan setengah mati. Setelah itu banyak lagi aku bertemu ular. Terutama di kebun belakang.
Kebun belakang itu adalah tempat favoritku untuk bermain.  Di sana ada sebuah ayunan dari tali yang sengaja dibelikan ayahku untuk bersantai. Aku bisa berbaring sambil membaca buku atau melihat pemandangan sekitar. Di sampingnya ada kolam yang penuh berisi ikan. Di sampingnya berdiri pohon mangga yang membuat suasana menjadi teduh. Tiupan angin sepoi-sepoi sungguh membawa kesegaran tersendiri bagiku. Di sekitarnya juga tumbuh dengan subur aneka tanaman mulai dari jambu air, jambu batu, sawo, kedondong,  melinjo, nangka dan lainnya.
Pohon jambu batu yang rindang adalah tempat yang paling sering kusinggahi.  Sehabis pulang sekolah, pasti aku menaikinya. Di sana aku aku bernyanyi-nyanyi kadang juga membaca buku. Bagi aku itulah tempat ternyaman untuk bersantai.
Namun sayang, aku terpaksa berhenti memanjat pohon itu. Itu karena aku melihat empat ular hitam sedang bergantung ke bawah. Ular yang besar-besar itu entah mau membuat atraksi apa. Bagiku, tidak lazim bagi  ular berperilaku demikian. Tetapi ketika aku berlari memanggil ayahku, ular itu semua hilang. Intinya, tak ada seorang pun yang percaya padaku bahwa banyak ular di kebun belakang.  Mereka pikir aku berhalusinasi saja. Tapi benar ataupun tidak, aku tak berani memanjat pohon itu lagi.
Tempat bersantaiku pindah ke bagian lain yang lebih lenggang. Aku sering mengecek sawo-sawo yang berbuah banyak. Jika ada yang agak lunak, aku petik dan aku makan. Tetapi suatu hari aku penasaran sekali ingin melihat pohon salak. Tempatnya paling sudut dan agak gelap.  Tiba-tiba seekor ular besar keluar dan mendekat ke arahku. Dengan napas ngos-ngosan aku berlari kencang. Kemana lagi kalau bukan lapor pada ayahku. Segera ayahku mencarinya. Lagi-lagi ular itu tak dapat ditemukan. Tetapi aku bersumpah meyakinkan ayahku bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Akhirnya ayahku memanggil tukang kebun sebelah. Setelah dicari, ular itu pun ditemukan.  Namun aku dongkol setengah mati, ular itu tidak dibunuh, hanya diusir jauh dari tempatnya semula. 
Aku jadi tak berani ke kebun lagi. Hanya melihat dari jauh dan berjalan-jalan hanya dekat pintu belakang. Tetapi saat melihat sumur serapan, dua ekor ular air nampak di sana. Seperti biasa aku lapor ayahku. Tetapi beliau mengatakan kalau itu hanya ular air dan tidak berbahaya.  Sekarang aku hanya berani duduk dekat pintu, memandang kebun dari kejauhan saja. Kadang ada ular air melintas di kolam. Tapi ia akan buru-buru pergi, sepertinya takut dengan orang. 
Suatu malam aku mengalami puncak ketakutan. Ketika aku sedang duduk-duduk di pinggir kolam, entah darimana seekor ular belang besar tiba-tiba sudah ada dekat kakiku. Aku sempat berteriak untuk kemudian jatuh pingsan. Ular itupun dibunuh dan dibuang ke sungai besar. Sejak itu aku tak pernah ke kebun belakang lagi.
Kini kebun itu sudah jadi rumahku. Tapi sebagian lahan masih tersisa. Halaman depannya  kini kutanami bunga-bunga. Kesannya lebih lapang dan terbuka.
Nampaknya aku memang trauma dengan ular. Aku tak berani melihat walau hanya tayangannya di televisi. Begitu pun jika melihat gambarnya di buku, aku merasa jijik dan benci. Ditambah lagi kemarin di dinding rumah, ada ular hitam sebesar ibu jari tapi ekornya panjang sekali.  Ia memandangku lewat jendela kaca. Timbul takut dan benciku seketika. Aku kerahkan semua tetangga. Ramai-ramai mereka memburunya. Ia melarikan diri ke atap rumah. Tak lama mendongakkkan kepalanya ke atas. Lalu seorang bapak menusuknya dengan  tongkat bambu. Hilang lagi.
Sekitar dua jam aku menunggu. Ia  lalu nampak berjalan di atas asbes rumahku. Sayang, para  tetangga sudah bubar semua.Tiba-tiba  aku dibuat kaget oleh ulahnya. Ia menjatuhkan dirinya ke bawah. Suara jatuhnya terdengar keras juga. Padahal ada pipa di sana yang harusnya ia melewatinya.
“Ular gila,” makiku dalam hati. Lalu aku minta tolong tetangga. Tak lama ia datang dengan seorang pawang ular. Tetapi ularnya tidakditemukan.
Kemarin ketika aku sedang bermain gitar, di atas dus sepatu kepala ular seperti meliuk-liuk. Aku berlari keluar jendela. Lagi-lagi ular itu tak ditemukan. Aku takdapat tidur tenang. Tetapi akhirnya aku percaya ular itu sudah pergi dari rumahku. Kuhilangkan semua prasangkaku tentang keberadaan ular itu.
Tetapi, sudah beberapa hari, tiap pagi sekali ketika aku menimba air, seekor ular air nampak sedang bermain di sumur. Melihatku menjatuhkan ember, ia segera berlalu masuk lubangnya. Besoknya ia seperti menari-nari lagi. Lalu pergi masuk sarang lagi ketika aku datang. Bentuknya yang imut dan nampak takut, membuat naluriku merasa sayang dengan itu binatang. Sengaja tak kuceritakan keberadaannya kepada siapapun. Aku merasa senang melihat ia berenang. Ia seperti anak kecil yang sedang bermain dan kemudian merasa ketakutan dan berlari. Kulitnya yang kusangka hitam, ternyata agak kekuningan dengan sedikit belang. Ya, itulah ular air. Konon ia tidak berbahaya dan juga tidak berbisa. Jadi, kubiarkan saja ia di sana.
Tetapi suatu siang anakku menemukannya.
Stt, jangan bilang siapa-siapa nanti dia dibunuh,” pesanku.
Aku jadi merasa geli sendiri, takut ular, tapi kok senang pada ular air ya. Entahlah. Pokoknya salam damai deh buat ular air. Jangan khawatir, kamu aman kok di sumurku. Bermainlah sesukamu ya. Hihihi....
Oh ya, kebetulan tahun sekarang juga tahun ular air. Kebetulan yang manis ya. Semoga itu sebagai lambang bersinerginya hidupku dan kebahagianku.  Amin.


                                                                     
***

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Hmm benar nih mbak, sekeliling rumah anda banyak ular? jadi ngeri nih.

kalau saya sebenarnya gak takut, cuma geli aja sama ular

salam kenal

Junita Siregar mengatakan...

saya nggak takut ama ular mbak, cuman takut ama ulat. Soalnya efeknya bisa bikin gatel-gatel dan bengkak hehehhehehe

Ria Rochma mengatakan...

kalau mbak nggak suka ular, saya nggak suka kucing. ih, nggak banget..!!!

susah ya ngilanginnya rasa nggak suka kita. :)))