“Huh, ogah aku memakai
obat generik. Kualitasnya rendah. Harganya juga murah. Itu kan obat dari
pemerintah untuk orang miskin. Lama sembuhnya kalau minum obat itu!”
Wah, ternyata seperti
itulah pandangan masyarakat tentang obat generik selama ini. Sebagai penulis,
aku merasa berkewajiban turut meluruskan pendapat-pendapat keliru seperti itu.
Walau bukan seorang ahli di bidang kesehatan, kalau masalah itu, aku sedikit
tahu dari buku-buku. majalah, surat kabar atau
tulisan di internet yang pernah aku baca. Berikut sedikit penjelasannya.
Sebelum lebih jauh kita
berbicara tentang obat generik, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu
tentang obat paten. Ini adalah jenis obat yang dihasilkan dari hasil riset.
Hanya perusahaan yang mempunyai hak patenlah yang dapat memproduksi obat tersebut. Di Indonesia, hak paten ini berlaku selama 20 tahun.
Setelah habis masa patennya, obat itu disebut obat generik. Kalau sudah menjadi
obat generik, maka semua perusahaan farmasi dapat memproduksi obat tersebut,
bahkan tanpa perlu membayar royalti.
Ada dua jenis obat generik.
Yang pertama adalah obat generik bermerek dagang. Umumnya disebut obat bermerek. Obat ini diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.
Misalnya untuk zat aktif amoxicillin akan dinamai sesuai merek yang diberikan
perusahaan farmasi.. Namanya bukan amoxicillin lagi tapi bisa ”gatoticilin” dan
lain sebagainya. Pastinya tiap pabrik yang memproduksinya akan memberikan nama
yang berbeda.
Dan yang kedua adalah obat generik berlogo (OGB). Masyarakat umum menyebutnya obat generik
saja. Obat ini mencantumkan kandungan zat aktifnya. Misalnya akan
tertulis “Amoxicillin”. Ada tanda atau
logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan “generik” di tengah
lingkaran. Logo tersebut menunjukkan bahwa OGB
telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan. Sedangkan garis-garis putih
menunjukkan OGB dapat digunakan oleh
berbagai lapisan masyarakat.
Jika dibandingkan
dengan obat paten, obat generik berlogo
(OGB) mempunyai beberapa keunggulan. OGB
harganya murah. Hal itu bisa terjadi dengan berbagai alasan. Pertama, obat
generik hanya berisi zat yang dikandungnya saja. Dijualnya pun dalam kemasan
dengan jumlah besar. Sehingga tidak memerlukan biaya untuk membuat kemasan juga
untuk biaya iklan.
Mengenai mutunya, tidak
ada perbedaan antara obat paten dan obat generik. Keduanya mengandung bahan
baku yang sama. Yang membedakan hanya kemasannya. Obat paten sengaja dibuat dengan
kemasan yang menarik dan berwarna. Sehingga tidak mengherankan kalau obat paten
harganya menjadi lebih mahal dibanding obat generik,
OGB
sendiri merupakan program pemerintah yang diluncurkan tahun 1989. Tujuannya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Tetapi saat
ini tujuan pengadaan obat generik adalah untuk menyediakan atau memberikan
alternatif obat bagi masyarakat dengan kualitas terjamin, harga terjangkau dan
ketersediaan yang cukup.
Jangan khawatir dengan mutunya.
Kualitas OGB sudah sesuai standar
yang ditetapkan kok. Itu karena OGB
diproduksi oleh industri farmasi BUMN. Sehingga dengan mudah pemerintah
melakukan pengawasan. Pemerintah pun mengendalikan harganya agar masyarakat
bisa dengan mudah mengaksesnya.
Berbeda dengan obat
generik bermerek. Obat bermerek ini diproduksi oleh perusahaan swasta. Tak
heran kalau harganya bisa lebih mahal dibanding obat generik berlogo. Hal itu
karena kebijakan perusahaan farmasi ikut menentukan harganya, Ada biaya promosi
yang juga harus diperhitungkan.
Dari bahasan di atas
bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa, dalam mengkonsumsi obat kita tidak memakan
mereknya melainkan menginginkan generiknya atau
khasiat yang terkandung di dalamnya. Jadi, menggunakan OGB tetap oke kok untuk pemulihan kesehatan kita. Karena harga yang murah, tidak
mencerminkan kualitas yang rendah. Demikian, sepertinya kita tak perlu ragu lagi
untuk menggunakan Obat Generik Berlogo
(OGB).
Semoga memberikan manfaat.
Salam sehat untuk semua.
***
Tulisan ini diikutsertakan
dalam lomba karya tulis tentang OGB yang diselenggarakan oleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar