Tulisan
ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.
Apa kriteriamu tentang
rumah yang nyaman? Hm, mungkin sebuah rumah mewah dengan model terbaru, ya.
Atau rumah besar dengan peralatan modern di dalamnya. Bagiku tidak seperti itu.
Rumah yang nyaman bagi aku adalah rumah yang bersahabat dengan lingkungan atau
alam. Tepatnya, yang bisa mendukung semua aktivitas aku. Dan juga selalu
kurindukan jika aku berada di luar sana.
Seperti rumahku saat
ini. Aneka pepohonan di depannya sanggup menetralisir kepekatan mataku karena
setiap hari berinteraksi dengan layar monitor. Otak menjadi segar dan badan
refresh karena menghirup aroma bunga, dedaunan, tanah dan unsur alam lainnya. Hijaunya
dedaunan sanggup membuat mata relak dari kelelahan.
Cerianya rumahku. Mulai
dari pagi sampai siang, burung-burung bernyanyi bersahutan. Mereka bertengger,
berlompatan di pohon mangga tepat depan kamarku. Ada tiga buah pohon mangga di
depan rumahku. Tetapi pohon mangga di depan kamarkulah yang paling unik.
Dari jendela aku bisa
mengintip aneka burung bermain di sana. Warnanya macam-macam. Abu-abu bercampur
coklat, kuning bercampur hitam, merah menyala dengan suara yang berbeda-beda.
Sungguh, aku suka sekali. Tanpa memelihara burung, sudah banyak kicauan
mewarnai rumah kami.
Oh ya, inilah keunikan
pohon mangga depan kamarku. Jika burung peliharaan tetangga lepas, pasti
hinggapnya di sana. Sering aku mencoba menangkapnya, tapi susah. Burung-burung
itu harganya jutaan. Di pohon manggaku mereka bersuara kencang. Jadi, kalau
tetangga kehilangan burungnya, pasti mereka mencarinya ke pohon mangga itu.
Termasuk burung hantu, senang sekali tuh mampir di sana. Kuuk....waktu pertama
kali bunyi, anakku heran. Aku jelaskan kalau itu suara burung hantu.
Anakku banyak heran
dengan rumahku yang sederhana itu. Pernah sambil tersenyum ia bilang kalau
rumah kami adalah rumah kebun binatang. Alasannya, ada lintah, keong, kecoa,
jangkrik, kaki seribu, kumbang, kecoa, tikus, lebah dan ular masuk rumah. Bahkan
ia sempat bingung, ketika begitu sibuknya aku memotret kupu-kupu besar yang kesasar
masuk rumah.
Tetapi kemarin sambil
tersenyum anakku bilang kalau rumah kami mirip hutan. Pasti bukan karena banyak
pepohonan besar. Sebagian banyak sudah kubuang. Aku bahkan menyulapnya menjadi
taman. Hal itu karena ada binatang yang bersuara keras berbunyi terus tiap
hari. Kalau dalam bahasa Sunda namanya Turaes. Ya, semacam binatang yang biasa
ada di hutan.
Ada banyak keunikan
memang dengan halaman rumahku itu. Kalau musim mangga, sering ada orang
memborong manggaku. Lumayanlah, buat jajan. Sudah beberapa kali aku panen
pisang. Sekarang malah berbuah dua. Pisangnya besar-besar. Dan aku siap bagikan
pada saudara, teman dan tetanggaku.
Aku juga menanam cabe,
tomat, lengkuas dan lainnya, suatu hari aku butuh bumbu, aku mengambilnya. Tapi
seringnya lari ke warung, karena malas menggali umbinya. Hehe....
Rumahku terletak di
belakang. Sebenarnya merupakan bagian dari rumah keluarga yang dibagi secara
waris. Bentuknya sederhana sekali. Jadi semua tetangga dekatku adalah
saudaraku. Di sampingku misalnya, rumah adik perempuanku. Di depannya, rumah
adik bungsuku, paling depan rumah mama dan adik keduaku. Dan menyebrang jalan
rumah adik laki-lakiku yang lain.
Uniknya, sering ada
tamu tidak diundang mampir ke tempat kami. Dia masuk lewat pintu gerbang ketika
gerbangnya terbuka sedikit. Tamu tidak diundang itu adalah ular. Kalau sudah
ada mahluk satu itu, kita semua bisa gegar. Apalagi kalau sudah masuk rumah. Tak ada satupun dari kami yang berani mengusirnya.
Oh ya, ada tetangga di
luar gerbang. Ia mempunyai pohon jengkol yang sangat besar. Daun-daunnya
terbang sampai ke halaman rumah kami. Pernah dia datang ke rumah adikku dan
komplain. Katanya air dari rumah adik jatuh ke halaman kosong kepunyaannya.
Akibatnya halamannya jadi becek dan berkubang. Adikku bilang, kalau pembuangan
air di genting itu jatuh ke depan, hanya daun-daun jengkol membuat saluran air
tersumbat dan selain air tumpah ke halamannya,
juga menyebabkan rumah adik jadi bocor.
Ada pengalaman berharga
yang pantas kita petik dari teguran tetangga itu. Bahwa kalau kita mau menegur
sesuatu sebaiknya koreksi dulu kesalahan siapa. Jangan asal labrak saja. Pada
akhirnya kan bisa malu sendiri. Mau ditaruh dimana itu muka?
Kali lain adik iparnya
tetangga komplain lagi. Waktu itu mama sedang memperbaiki genting. Trus
bahan-bahannya tertimbun di bawah memenuhi gang. Dengan arogansinya ia menegur
pegawai. Memperingatkan agar jangan sembarangan membuang brangkal. Tetapi walau
polisi, pegawai berani menegakkan kebenaran. Dia mengatakan kalau gang itu
adalah kepunyaan ibu. Jadi ibu berhak berbuat apa saja atas jalan itu. Dia diam
dan berlalu tanpa banyak kata.
Itulah dinamikan
bertetangga. Kita sendiri tak pernah komplain menyapu daun yang diterbangkan
angin ke rumah kami. Bahkan menyumbat saluran air di genting. Karena kita sadar
ada seni dalam bertetangga. Dengan tetangga wajib bertenggang rasa karena siapa
lagi yang bisa menolong kita dengan cepat jika terjadi musibah. Pasti tetangga.
Betul, kan?
***
6 komentar:
Rumahnya banyak pohon ya, Mbak? unik juga ya cerita tentang pohon mangga itu :)
Ya, banyak pohonnya. Padahal pohon jambu batu, jambu air, dan satu pohon besar lagi sudah kutebang. Kalau burung hantu yang sering mampir itu anaknya, di abulat dan lucu sekali. Hihihi....terima kasih ya sudah mampir di blogku.
Wah rumahnya adem banget dong ya, masih banyak pohon. Pasti ngeri juga kalau sampai ada ular yang masuk
KAlo Panen Cabe jangan lupa bagi2 ma ane a MAk :D
Mas Catcilku : Adem sih iya, tapi ularnya itu yang mengerikan, karena berbagai jenis adanya. Malah ada yang pintar memanjat dinding segala. Panjang sekali dan nampak tidak takut manusia. Ngeri sekali deh.
JAsa review produk, Mak Nchie Hanie, tadi sudah dipetik cabenya beberapa, buat nasi goreng. Yang siap panen pisang nih. Kalau mau, bantu tebangnya saja, hahaha..... Bercanda ding...
Posting Komentar