Senin, 03 Januari 2011

SUKA DUKAKU MENJADI SEORANG PENULIS

Pertama menulis kembali, April 2010. Hal itu dipicu oleh pesan masuk seorang teman penulis. Isi pesannya adalah informasi lomba menulis. Langsung terlintas di benakku untuk mencoba. Bertahun-tahun aku tidak memainkan jemari untuk menata pikiran dalam lautan kata-kata. Aku tertantang.

Sejak saat itu aku mengikuti puluhan lomba. Fiksi,non fiksi, blog, aku ikuti semua. Belum mengisi website kepenulisan kepunyaan teman. Juga empat blog pribadiku. Lengkap sudah. Satu kali mencoba mengirimnya ke media cetak. Ditolak, dengan alasan tema cerita yang kuungkapkan pernah diceritakan penulis lain sebelumnya. Aah, itu bukan kendala. Aku masih semangat untuk mencoba.

Merasa masih perlu tambahan ilmu, aku pun ikut bergabung dalam beberapa komunitas penulis. Setiap pelatihan menulis gratis di kotaku, tak pernah kulewatkan. Aku juga aktif mengikuti pertemuan para penulis di kotaku dan bertemu banyak penulis senior di sana.

Mengikuti bedah buku pun sudah beberapa kali. Yang paling mengesankan bertemu Andrea Hirata secara langsung, saat tidak setenar sekarang. Kesanku, Andrea orangnya ramah, pintar dan rendah hati.

Pertemuan dengan penerbit, paling kuminati. Aku jadi banyak tahu tentang seluk-beluk menerbitkan buku. Walaupun untuk itu aku harus mengorbankan waktu kerjaku.

Aku juga menambahkan banyak teman penerbit di facebook, sehingga ketika ada acara apapun, mereka sering mengundangku. Tak lupa ku add teman – teman penulis, agar ada info apa pun aku lekas tahu.

Buku di rumah sebagai hadiah, cukup banyak kudapat. Dari menang quiz kepenulisan. Hadiah dari menulis di website teman. Atau hadiah karena aku aktif bertanya dalam forum diskusi.

Di balik semua aktivitas menulisku itu, aku punya target sendiri dalam menulis. Aku ingin menjadi penulis untuk media massa. Juga ingin mempunyai buku – buku hasil karyaku sendiri. Tak tanggung – tanggung, aku ingin bukuku diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dibaca teman – temanku orang asing di luar Indonesia.

Mereka selalu ingin tahu apa yang kutulis. Dan selalu minta diterjemahkan. Tetapi selalu kuabaikan permintaan mereka. Selain karena bahasa Inggrisku payah, kegiatan itu akan cukup menyita waktuku. Sebenarnya cara praktis bisa dilakukan , menggunakan penerjemah di Google misalnya. Tapi terus terang aku kurang sreg dengan hasilnya untuk naskah yang panjang. (Maaf yah mbah Google).

Dari sekian puluh tulisan, ternyata yang layak diapresiasi sebagai pemenang hanya beberapa. Tapi itu tak menyurutkan semangatku sedikit pun. Aku malah berani mencoba hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Menulis flash fiction misalnya.

Jangan heran pula, selama masa kepenulisanku, beberapa kali aku menemukan hal-hal kurang mengenakkan. Yang pertama adalah aku mengirim 4 buah cerpen remaja ke salah satu sayembara yang diadakan oleh sebuah majalah. Beberapa bulan sebelum pengumuman, tiba-tiba majalah itu hilang dari peredaran. Nasib naskahku dan teman- teman, tak tahulah. Status naskah kita menggantung begitu saja.

Aku juga pernah mengirimkan artikel yang penyelenggaranya sulit dilacak. Artinya naskahku tenggelam ke laut. Aku lupakan. Masih semangat menulis.

Ketiga adalah kabar bahwa aku menang lomba. Siapa tidak gembira, ini kemenangan pertama kalinya. Penerbitnya juga cukup transparan. Selalu mengabari tiap kemajuan pembuatan bukunya.

“Sabar ya, lagi naik cetak,” beritanya. Wow, rasanya tak sabar menunggu buku antologi pertamaku muncul. Sekitar satu bulan berikutnya, salah satu teman penulisku yang juga menang lomba mengabari sesuatu via inboxku.

“Mbak, penerbit X menghilang dari peredaran.” Masya Allah!

Kejadian itu masih diikuti oleh sebuah komunitas kepenulisan yang kuikuti. Pengelolanya tiba-tiba menghilang tanpa kabar berita. Padahal beliau berjanji mau menerbitkan naskah-naskah kita menjadi buku.

Aku jadi merenung. Masalah bangkrut dan segala macamnya aku bisa maklum. Mauku, tulis kek sedikit kata maaf sambil bilang, “naskah anda semua kami kembalikan.” Enak kan? Emangnya naskah-naskah itu mau mereka apakan coba?

Jadi teringat ada seorang teman yang bekerja di sebuah media di luar negri. Ia menawari aku untuk menulis di medianya. Aku sendiri tidak tahu, darimana ia tahu aku suka menulis. Tapi bagaimana aku merespon tawarannya itu, sementara bahasa Inggrisku saja parah.

Jadi timbul prasangka negatif di kepalaku. Konon di luar negri itu banyak sekali membutuhkan ghost writer. Jangan-jangan naskah kita diterjemahkan dan dikirim atas nama mereka? Tapi ah, aku tak boleh buruk sangka. Aku kan tidak punya fakta. Itulah mengapa transfaransi itu penting. Agar orang tidak berasumsi lain-lain.

Aku melupakan semua itu dan terus berkarya. Akhirnya antologi keduaku jebol juga.: Gado-Gado Cinta. Tapi jujur itu cukup mengagetkanku. Naskahku itu tak masuk perhitunganku untuk lolos seleksi. Bahkan berkisah tentang sebagian perjalanan cintaku bersama beberapa pria. Bahkan hal-hal buruk tentang diriku aku kupas semua. Jujur, tak ada sedikitpun niat pada diriku untuk membuka aib diri. Aku hanya mencoba bercerita apa adanya agar orang lain dan aku mendapat hikmahnya. Juga aku mengharap masukan berharga dari pembaca dan teman-teman semua.

Akhir kata, pantang menyerah apapun yang terjadi untuk mencapai tujuan kita. Menulislah dengan jiwa tanpa memikirkan kemenangan atau uang. Niscaya kepuasan batin akan didapat, sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dihargai oleh uang atau apapun. Salam semangat untuk semua.



Ujungberung, 31122010

2 komentar:

spirit-literasi.id mengatakan...

Pengalaman berharga. Menjadi penulis memang membutuhkan perjuangan.

Unknown mengatakan...

Setuju, Pak. Bahkan prosesnya itu panjang dan dibutuhkan mental baja untuk bertahan.