"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si
Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13
Juni 2013."
Aku terdiam seketika seolah
mati rasa. Badan lunglai tak menggapai
pikiran yang terbang entah kemana. Mataku langsung berkaca-kaca. Dan tak lama
kemudian pipiku membasah oleh jeram air mata yang terlanjur tumpah dan susah
dihentikannya. Sulit menggambarkan apa yang kurasakan. Aku seperti melayang
pada kenangan. Belum lama, ya sebulan yang lalu. Aku masih ingat binar bola
matanya, sumringah senyumnya. Dan kata-kata yang begitu memberondong dari mulutnya.
“Aku mencintaimu Wi, bahkan
sangat mencintaimu. Rasa itu tidak pernah mati sampai sekarang.” Begitu
berapi-api ia menjelaskan. Sampai-sampai aku tak sempat berpikir untuk mencari
kebenaran kata-katanya. “Sampai saat ini, Wi. Bahkan aku sangat bahagia bisa
bertemu lagi denganmu di sini!”
Dia bukan seorang penggombal. Seratus
persen bukan. Aku mengenalnya bertahun-tahun. Aku sampai hapal karakternya. Itu
karena kami dulu begitu dekatnya. Ibarat satu mata uang dengan dua belahan.
Begitulah kami dulu. Atau seperti lem
dan perangko, melekat kuat. Atau seperti banyak dikatakan oleh teman-teman, dimana
ada Dewi di situ ada Soen. Soen dan aku
adalah dua foto dalam satu bingkai.
Tetapi sekarang, aku merasa
hatiku diterjang badai hujan. Perasaanku
mendidih bergejolak panas merajam. Ketika kupandang layar monitor, tambah sakit
kepalaku. Kueja kembali satu kata itu ‘menikah’. Tapi kata itu benar ada, nyata
dan aku tidak salah melihatnya.
Kuambil handphoneku dan memberanikan
diri untuk menanyakannya. Tetapi aku merasa begitu ringan. Tenagaku menguap ke
udara. Pandanganku kabur menghitam. Tiba-tiba gelap. Dan aku hilang entah
kemana.
***
Aku benci tempat ini. Tempat ini sering
memisahkan aku dan Soen sekian lama. Soen mencari dan kehilangan. Aku sembunyi
dan tak mau ditemukan. Berat berpisah sementara dengannya. Tak ada tawa
renyahnya. Tak ada gandengan tangannya, tak ada perhatiannya. Tetapi kini memang
tak ada dia untuk selamanya. Soen sudah beristri dan tidak akan peduli padaku
lagi. Padahal sudah kusembunyikan penyakitku bertahun-tahun padanya.
Rambutku sudah banyak yang
rontok, Aku nyaris botak. Tapi Soen tak pernah tahu kalau aku sakit. Aku menutupi banyak hal agar Soen tidak curiga padaku. Termasuk mengenakan kerudung agar Soen tetap
mencintaiku dan mau menikah denganku. Tetapi....
Rupanya aku hanya tiga hari di
rumah sakit. Rutinitas pengobatan yang membosankan itu kini benar-benar
membuatku bosan. Aku pasrah dan merasa lelah. Tak ada artinya lagi berjuang,
untuk apa. Pria yang kucintai setengah mati dan katanya sangat mencintaiku itu
ternyata pendusta besar. Aku telah kalah karena telah ditipu mentah-mentah
olehnya.
Aku menjalani kembali aktivitas
seperti biasanya. Lebih tepatnya aku sedang menghitung hari kematianku. Tapi aku tak mau menyia-nyiakan sesuatu.
Mumpung masih ada tenaga, mumpung masih ada kesempatan.
Aku segera mengambil sejumlah
barang yang kusimpan laksana pusaka. Sebuah sapu tangan biru yang selalu
dipinjamkannya untuk mengusap airmataku, buku harian kecil hadiah ulang tahun
untukku, mug bergambar anak kecil
lucu, semua itu aku simpan baik-baik. Aku menganggap itulah lambang cintanya padaku.
Tapi kini, satu-satu barang itu kupindahkan
tempatnya. Aku tak ingin membawa cintaku ke alam kubur. Biarlah cintaku masuk
ke dalam kardus saja. Setelah kumasukkan sepucuk surat, aku segera mengikatnya erat. Tertutup rapat. Suatu saat akan terbuka,
setelah aku tiada.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar